Tugas dan Tanggung Jawab Masyarakat untuk Mengatasi Banjir – Nila bersama anggota slot bonus 100 to 3x Konsorsium Ground Up, belum lama ini melakukan penelitian di Semarang, terkait akses terhadap air dan risikonya. Konsorsium Ground Up terdiri akademisi dan kelompok masyarakat sipil. Mereka berasal dari IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Amrta Institute, dan Koalisi Rakyat Atas Air atau KruHA. Mengutip data BNPB, banjir pada 2020 merupakan bencana alam terbanyak di Indonesia yaitu 36,50 persen. Lalu puting beliung [29,80 persen], tanah longsor [19,60 persen], serta kebakaran hutan dan lahan [11 persen]. Empat provinsi tertinggi yang mengalami bencana adalah Jawa Barat [623 kejadian], Jawa Tengah [522 kejadian], Jawa Timur [408 kejadian], dan Aceh [264 kejadian].
Khusus banjir yang terjadi, ada tiga jenis. Pertama, badan sungai tidak mampu menampung air sehingga meluap. Kedua, curah hujan di daerah atas sangat tinggi yang berpengaruh di kota di bawahnya. Ketiga, banjir rob atau limpasan air laut yang masuk ke darat. Satu temuan penting penelitian mereka adalah, sebagian besar responden menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan harian [79,70 persen]. Dari PDAM hanya 19,70 persen. Pemenuhan kebutuhan air dari air tanah dalam sebesar 48,60 persen dan air tanah dangkal 31,40 persen.
Repolitisasi
Bosman mengajak semua pihak untuk mahjong mengurai penyebab lain banjir selain curah hujan. “Saya pikir tidak ada solusi instan untuk masalah ini.” Jika kota-kota di pesisir Pulau Jawa makin amblas dan banjir tak juga terselesaikan, ditambah dampak perubahan iklim, apakah tidak sebaiknya disiapkan sebagai kota air? Menjawab pertanyaan Mongabay itu, Nila menerangkan sebaiknya kawasan-kawasan rendah yang biasa menjadi tempat air, tidak diperuntukkan bagi aktivitas yang berdampak. “Kalaupun sudah berubah peruntukkannya, jangan ditambah lagi. Saya lihat bagus di Jakarta, contohnya Pacuan Kuda Pulo Mas. Itu kawasan yang sudah cukup dalam. Sebenarnya tempat parkir air, tapi tidak dimanfaatkan untuk bangunan.”
Tata guna lahan penting sekali. Seperti di Semarang, Simpang Lima, dari dulu itu tempat parkir air. “Sekarang, sudah jadi hutan benton. Hujan sedikit terendam.” Terkait banjir Pekalongan yang foto-fotonya viral karena berwarna merah akibat bercampur pewarna batik, menurut Nila peristiwa itu penting menjadi perhatian bersama. Terlebih, angka amblasan di sana tinggi dan lajunya tergolong cepat. “Beberapa peneliti melihatnya karena pengambilan air tanah yang cukup banyak. Kami dengar di setiap RW di Pekalongan sekarang ada sumur dalam bersama. Ini potensial menimbulkan amblasan tanah yang akhirnya meningkatkan risiko banjir. Sama dengan Jakarta atau Semarang.”
Amblasan Tanah
Berdasarkan penelitian Ground Up, amblasan tanah [land subsidence] yang terjadi di Semarang, sudah mencakup bonus new member hampir separuh kawasan ini. Di sekitar Bandara Ahmad Yani misalnya, amblasan mencapai 6 hingga 8 cm per tahun. Di sebuah rumah pompa, amblasan sudah 70 cm. “Cukup banyak rumah di Semarang juga Jakarta yang ketinggiannya tidak normal. Mestinya genteng di atas kepala, tapi ada beberapa rumah yang kalau mau masuk harus nunduk,” kata Nila sambil memperlihatkan sebuah foto.
Dia juga menunjukkan bukti lain, foto hitam putih bangunan Masjid Layur Semarang. Pada 1910, masjid itu masih berupa bangunan dua lantai. Pada 2007, lantai bawahnya amblas menyisakan anak tangga 9 buah. Saat Nila mendatangi masjid itu pada 2020, anak tangganya tinggal 3, lantai bawahnya amblas. Penelitian Heri Andreas 2021 menunjukkan, penurunan tanah di Jakarta berkisar 1 hingga 20 cm per tahun. Bekasi [4 cm], Semarang [20 cm], demikian juga Demak. Riset itu mengungkapkan, ada 112 kota atau kabupaten di pesisir Indonesia mengalami rob.
“Penduduk dekat pantai punya risiko tambahan, biasanya kesulitan air bersih terpengaruh air payau. Sayangnya, di lokasi penelitian dekat pantai itu belum mendapat layanan PDAM. Sebanyak 98,8 persen responden menggunakan air tanah. Akhirnya amblasannya paling tinggi dibanding daerah lain.” Konsorsium Ground Up juga melihat perubahan tata guna lahan meningkatkan risiko banjir. Kawasan yang tadinya jadi resapan berubah jadi perumahan, serta industri. “Respon dominan banjir umumnya melalui infrastruktur besar dan teknologi mesin-mesin hidrolik. Hal ini sudah dimulai sejak Belanda meluruskan aliran Sungai Garang menjadi Banjir Kanal Barat pada 1850 dan Banjir Kanal Timur pada 1896.”
Pertolongan Pertama Saat Banjir
Saling Menumpang
Bosman Batubara, yang juga menjadi narasumber menjelaskan, penanganan banjir selama ini tumpang tindih dengan upaya mengeruk keuntungan ekonomi dari berbagai proyek. Menjawab pertanyaan peserta diskusi akun pro thailand tentang bajir Jakarta, dia menuturkan, sejauh ini tidak ada roadmap banjir yang jelas tiap tahun. Kandidat doktor pada IHE Delft Institute for Water Education University of Amsterdam itu mengatakan, sebenarnya roadmap penanganan banjir di Jakarta telah beberapa kali disusun.
Pada 2011, dikeluarkan dokumen bernama Jakarta Coastal Defence Strategy. Kemudian berubah pada 2014, menjadi National Capital Integrated Coastal Development. Lalu berubah lagi menjadi Updated NCICD pada 2016. Pada 2018 master plan itu menjadi Integrated Flood Safety Plan. “Cuma, yang saya ragukan sama halnya COVID-19. Isunya terbelah antara penanganan kesehatan atau memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Satu, supaya Jakarta tidak banjir. Kedua, saat bersamaan membayangkan pertumbuhan ekonomi atau penghasilan datang melalui reklamasi pulau.”
Bosman sendiri menolak proyek reklamasi yang menurutnya saling menumpang dengan proyek penanganan banjir. “Pertumbuhan ekonomi dan penanganan banjir saya pikir selalu berpacu. Kelihatannya, yang “memenangkan” pertarungan adalah kebutuhan untuk menjaga berlangsungnya proses yang menghasilkan keuntungan.”